Di tengah gempuran konten instan, berita cepat, dan video pendek berdurasi 30 detik, siapa sangka bahwa beberapa daerah di Indonesia justru mencatat prestasi luar biasa dalam urusan membaca? Di tahun 2024, lima daerah mencuat sebagai yang paling gemar membaca berdasarkan survei dari Perpustakaan Nasional. Uniknya, tidak hanya kota besar yang mendominasi—kabupaten dari pelosok pun tampil bersinar. Ini bukan hanya tentang buku, tetapi soal bagaimana budaya literasi bertumbuh diam-diam namun pasti.
Jadi, mari kita tengok satu per satu: siapa saja mereka, apa yang membuat mereka istimewa, dan apa yang bisa kita pelajari dari semangat membaca di tempat-tempat ini.
1. Kota Bogor: Di Antara Hujan dan Halaman Buku
Dengan skor gemar membaca mencapai 91,79, Kota Bogor bukan hanya kota hujan—tapi juga kota literasi. Bagi warga Bogor, membaca bukan sekadar kegiatan sunyi di pojok perpustakaan, tapi sudah menjadi gaya hidup.
Beberapa tahun terakhir, geliat literasi di kota ini memang terasa hidup. Perpustakaan-perpustakaan kota dimodernisasi, taman-taman dilengkapi pojok baca, dan kegiatan komunitas literasi seperti diskusi buku atau pelatihan menulis digalakkan. Bahkan, banyak kafe dan ruang publik menyediakan rak buku kecil sebagai bentuk “perpustakaan mikro”.
Anak muda Bogor pun akrab dengan buku. Di tengah hiruk pikuk media sosial, mereka tetap menyempatkan waktu untuk menyelami novel, esai, atau jurnal akademik. Ini bukan soal nostalgia, tapi cara mereka menyiasati dunia yang makin bising. Buku menjadi oase.
Faktor lain? Barangkali udara sejuk dan curah hujan tinggi juga berperan. Karena tak bisa sering main ke luar, membaca menjadi pelarian yang menyenangkan—dan menenangkan.
2. Kabupaten Gowa: Tradisi Lisan Bertemu Literasi Modern
Siapa bilang literasi hanya milik kota besar? Kabupaten Gowa di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa daerah dengan akar budaya kuat pun bisa unggul dalam hal membaca. Dengan skor 91,75, Gowa hanya sedikit tertinggal dari Bogor—tapi semangatnya tak kalah.
Gowa adalah tanah sejarah. Di sinilah Kerajaan Gowa pernah berjaya. Tradisi tutur hidup lama di tanah ini, dan kini tradisi itu berpadu dengan budaya baca tulis modern. Pemerintah daerah Gowa tak main-main dalam hal literasi: gerakan “Gowa Membaca” aktif menyasar sekolah, pesantren, bahkan dusun-dusun terpencil.
Yang menarik, anak-anak Gowa tidak hanya diajak membaca buku, tapi juga menulis kembali cerita rakyat dari daerah mereka. Dari dongeng tua yang diwariskan nenek-nenek, kini lahir kompilasi cerita bergaya modern yang ditulis anak muda. Ini bukan cuma membaca—ini transformasi budaya.
Gowa membuktikan, literasi bukan soal berapa banyak toko buku berdiri di kota, tapi seberapa kuat komunitas dan pemerintah setempat mendorong kebiasaan membaca sejak dini.
3. Kabupaten Maros: Literasi di Antara Karst dan Ketekunan
Maros dikenal dengan kawasan karst-nya yang eksotis. Tapi tahun ini, Maros juga mencuri perhatian karena skor gemar membaca yang tinggi, yaitu 90,84. Ini jelas bukan angka yang muncul tiba-tiba.
Di balik batu-batu karst yang menjulang dan gua-gua purba yang menyimpan jejak manusia prasejarah, Maros sedang mengalami kebangkitan literasi. Pemerintah kabupaten memberi dukungan penuh pada kegiatan literasi desa—dari pendirian taman bacaan masyarakat, hingga pelatihan pustakawan desa yang tak hanya mengelola buku, tapi juga menjadi mentor bagi anak-anak dan remaja.
Menariknya, program literasi di Maros kerap dikaitkan dengan lingkungan. Banyak buku anak-anak bertema konservasi dan budaya lokal diterbitkan secara independen oleh komunitas. Anak-anak diajak mengenal tanah kelahiran mereka lewat buku—bukan hanya lewat pelajaran sekolah, tapi juga lewat kisah dan cerita bergambar.
Inisiatif seperti ini membuat membaca terasa dekat, kontekstual, dan menyenangkan. Ketika anak-anak membaca cerita tentang hutan tempat mereka bermain, atau gua tempat mereka kemping, literasi menjadi pengalaman personal.
4. Kabupaten Gunungkidul: Dari Stereotip Kering ke Subur Literasi
Gunungkidul dulu dikenal dengan sebutan daerah tandus, minim air. Tapi dalam urusan literasi, Gunungkidul membalik stereotip itu. Dengan skor 83,99, kabupaten ini menunjukkan bahwa kekayaan literasi tidak ditentukan oleh letak geografis, tapi oleh mentalitas warga dan kebijakan yang berpihak pada ilmu pengetahuan.
Gunungkidul punya cara unik dalam mengembangkan literasi: mereka tidak hanya mengandalkan perpustakaan formal, tapi juga jaringan perpustakaan desa, mobil perpustakaan keliling, dan bahkan “perpustakaan sepeda motor” yang menyusuri dusun-dusun.
Tak hanya itu, sekolah-sekolah di Gunungkidul sangat serius menerapkan program literasi 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Buku-buku yang dibaca tidak harus berat; bisa berupa cerita rakyat, buku bergambar, hingga artikel sains populer. Tujuannya satu: menanamkan kebiasaan membaca sejak dini, tanpa tekanan.
Gunungkidul juga aktif melibatkan orang tua. Lewat program “Orang Tua Membacakan Buku”, para ayah dan ibu diajak ikut serta dalam proses tumbuh kembang literasi anak. Hasilnya? Masyarakat mulai melihat membaca bukan sekadar tugas sekolah, tapi bagian dari hidup sehari-hari.
5. Kabupaten Sleman: Modern, Akademis, dan Membumi
Sleman adalah kabupaten yang dekat dengan pusat pendidikan tinggi di Yogyakarta. Tak heran jika budaya membaca di sini begitu kuat. Skor 82,81 bukan sekadar angka, tapi cerminan dari lingkungan yang suportif, inklusif, dan berpendidikan.
Yang membedakan Sleman dari daerah lain adalah integrasi antara dunia akademik dan masyarakat. Banyak dosen dan mahasiswa dari kampus sekitar yang aktif dalam gerakan literasi desa, mendirikan taman baca, atau membuat komunitas menulis. Sleman seperti ruang pertemuan antara teori dan praktik.
Perpustakaan daerah di Sleman juga tidak lagi seperti gedung sunyi dengan rak-rak tua. Mereka bertransformasi jadi ruang publik yang hidup: ada diskusi buku, seminar, pameran, hingga kelas keterampilan digital.
Uniknya, Sleman juga mulai mendorong pemanfaatan teknologi untuk memperluas akses baca. Aplikasi perpustakaan digital, QR Code di tempat publik untuk mengakses buku elektronik, hingga podcast literasi lokal menjadi hal biasa.
Sleman menunjukkan bahwa literasi bisa menjadi jembatan antara modernitas dan kearifan lokal. Antara buku cetak dan digital. Antara ruang baca dan ruang publik.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Melihat lima daerah ini, satu kesimpulan jadi terang: literasi bukan soal lokasi, tapi soal komitmen. Kota besar atau kabupaten kecil bisa sama-sama unggul jika ada sinergi antara warga, komunitas, dan pemerintah.
Kota Bogor menunjukkan pentingnya infrastruktur dan atmosfer literasi. Gowa dan Maros menekankan pentingnya membumikan budaya membaca lewat akar budaya lokal. Gunungkidul membuktikan bahwa keterbatasan geografis bukan halangan, dan Sleman menunjukkan kekuatan kolaborasi antara pendidikan tinggi dan masyarakat.
Yang lebih penting: membaca bukan lagi soal skor semata. Ini soal bagaimana buku membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berbuat. Ketika seseorang rajin membaca, ia tidak hanya memperkaya pengetahuan, tapi juga memperluas empati.
Menatap Masa Depan
Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar dalam bidang literasi. Tapi melihat geliat lima daerah ini, harapan itu terasa nyata. Bahwa di tengah tantangan zaman, masih ada anak-anak yang tertawa saat menemukan buku favorit, orang tua yang setia membacakan cerita sebelum tidur, dan pemuda yang menulis puisinya sendiri karena terinspirasi dari lembar demi lembar yang ia baca.
Mungkin, masa depan Indonesia yang lebih cerdas, kritis, dan berdaya saing tidak akan lahir dari algoritma media sosial, tapi dari halaman-halaman buku yang dibaca dengan penuh rasa ingin tahu.
Dan itu, rupanya, sedang dimulai dari Bogor, Gowa, Maros, Gunungkidul, dan Sleman.
0Komentar